23.00
“Haduh ini motor pake
mogok segala, lagi” rutuk Fahira. Ia mengambil ponsel dari celananya berniat menghubungi
sahabatnya tapi baru ingat, karean buru-buru tertinggal di loker rumah makan
“Ah, hari ini kenapa,
sih, kok sial banget.”
Dari kejauhan melihat
bayangan seseorang menghampiri Fahira dan ia terbelak dengan kilauan pisau
tajam dalam kegelapan malam.”
“Arrgghhhhhhh,
tolong!!!”
Fahira terus berteriak
sambil berlari tergesa-gesa, ia menoleh ke belakang untuk memastikan, apakah si
misterius masih mengikutinya atau tidak. Jalanan yang becek dan berkubang,
menyusahkan dirinya untuk menghindari si misterius. Namun, si misterius seperti
sudah terbiasa berjalan dan berlari dalam kondisi jalanan seperti itu.
Si misterius tidak
terlihat jelas oleh Fahira Azzahra. Selain karena kegelapan malam membantu
menyembunyikan wajah si pengejar, juga tertutupi masker dan kacamata hitam.
Fahira di ambang putus
asa dan dikuasai kepanikan. Jalanan begitu sepi ditelan larutnya keheningan
tengah malam. Seharusnya bisa menikmati waktu istirahat setelah lelah bekerja
semalam. Justru ia malah dikejar oleh si misterius yang seperti psikopat akan mengancam
keselamatannya.
Fahira tiba di jalan
menuju komplek rumahnya, berharap masih ada yang lalu lalang atau satpam
komplek yang kontrol jalan depan komplek. Namun jalan lengang, sehingga ia masih
berusaha untuk menghindari si misterius.
TAP!
Tangan si misterius
memegang lengan Fahira. Refleks, Fahira menepis dan mendorongnya hingga masker
dan kacamata si misterius terbuka, sehingga kini Fahira bisa melihat wajahnya
dengan jelas.
Fahira terkejut dan
berkata, “Ka-kamu?”
Kepanikan Fahira
semakin menjadi-jadi setelah melihat siapa si misterius tersebut. Ia bangkit
namun kondisi jalanan setelah hujan, menyulitkan dia untuk segera berlari. Peluang
kesulitan tersebut langsung dimanfaatkan oleh si misterius, yang langsung
menahan tubuh Fahira dengan kaki dan tangan agar tetap tidak bisa kemana-mana.
“Tolong! Maafkan saya!”
Fahira memohon dengan air mata yang berlinang oleh ketakutan dan rasa putus
asa.
Si misterius tak
menghiruakannya. Ia tetap mengayunkan pisaunya, lalu….
“Saya tidak
bermaksud___”
SREB!
Pisau itu merobek
kulit dan menembus jantung Fahira. Gadis itu hanya bisa menjerit kesakitan. Bagian
tubuhnya yang lain terasa kaku, seolah seluruh sarafnya mendadak mengalami
terhenti bekerja.
Fahira menyadari bahwa
ini adalah akhir hayatnya. Di tengah momen sakarul mautnya itu, samar-samar ia
mendengar si misterius mengucapkan, “Kudapan…”
20.30
Tumis ayam kurang
bumbu, balik! teriak Koki Ajat Kertajasa yang kadang suka dipanggil Kang Ajat
oleh anak buahnya, sembari melempar penggorengan berisi hidangan ke arah dapur
utama.
“Siap, Kang Ajat!” Seseorang
yang bertugas sebagai juru masak lauk pauk menimpali perintah dengan rikuh. Semua orang
sibuk dengan pembagian tugasnya masing-masing.
Panci melayang dengan
segala macam umpatan kasar sudah hal lumrah di dapur Rumah Makan Sunda Citraloka,
rumah makan premium di daerah Soekarno Hatta, Kota Bandung. Para juru masak
disana sudah terbiasa dengann tekanan yang tercipta di dapur, karena semua
yakin kedisiplinan dalam mempertahan citra rasa dan kualitas bahan merupakan
kunci sukses agar hidangan tersaji dengan sempurna. Hal ini pula yang selalu membuat
Rumah Makan Sunda Citraloka tetap ramai sekalipun bukan akhir pekan.
Kang Ajat berdiri
tegak menatap salah satu juru masak di bagian lauk pauk yaitu Ageng Parta
Sapirah atau biasa dipanggil Parta. Ia tahu kelemahan Parta adalah
mempertahankan rasa. Sudah berapa kali hidangan milik Parta tak memenuhi
standarnya, sehingga selalu menjadi pelampiasan amarah Kang Ajat.
Tumis suwir ayam
berapa lama?! bentak Kang Ajat ke arah Parta. Ia begitu kesal masakan itu tak
kunjung matang sampai ia harus cek langsung.
“Ya, kang, sebentar
lagi!” sahut Parta
“Sebentar-sebentar
apa?!” Kang Ajat mendekati dapur utama. “Saya ga butuh sebentar-sebentar
tapi saya butuh cepat dihidangkan untuk tamu.”
“Eh, tunggu” Kata kang
Ajat, menahan Parta yang telah beranjak beberapa langkah. “Tadi kamu bilang mau
izin pulang lebih awal bukan? Lebih baik kamu pulang sekarang daripada bikin
makin kacau dapur saya.”
Parta menghela nafas
berat sembari menggangguk, “Ya, Kang.”
Tak ada yang
mempedulikan kepergian Parta, semua fokus pada pembagian tugasnya masing-masing.
Bahkan sering terjadi ada yang langsung dipecat saat itu juga. Adistia Indira Kamania,
atau yang akrab disapa Adistia merasakan malam ini adalah malam terbaiknya.
Banyak menu hidangan malam ini yang telah dikuasai, bahkan beberapa kudapan
miliknya sangat baik dibandingkan juru masak lain.
Setelah memulai
kariernya sebagai asisten juru masak yang menyiapkan atau memotong bahan, tiga
bulan kemudian diangkat tim juru masak kudapan dan terkadang diminta untuk
membantu divisi bagian karbohidrat, sayuran, lauk pauk ataupun kudapan. Namun
peningkatan drastis menimbulkan rasa iri dan curiga, ia dianggap menempuh jalan
pintas dengan tahapan kariernya yang tergolong singkat.
"Teh Adistia, butuh
berapa lagi porsi kue awug untuk menu kudapan hari ini?" tanya Imas, seorang
asisten pengganti Adistia sebelumnya. “Buat jaga-jaga, tiga aja dulu, mas. Soalnya
belum ada lagi yang pesan Kue Awug.” jawab Adistia tanpa memalingkan fokusnya
dari menatap penyajian modern kue awug ala dia, agar tidak salah dalam penyajian
untuk tamu.
Beberapa saat saat
setelah Adistia menyerahkan hidangan kudapan yang merupakan hidangan penutup
langsung bergegas bergabung dengan kepala bagian dapur lainnya untuk menunggu
pesanan berikutnya.
“Pesanan terakhir, dua
porsi nasi liwet paket komplit, kue awug, rujak buah dan es cendol” Selagi Kang
Ajat membacakan pesanan dan menyebutkan ulang sesuai tugasnya masing-masing.
“Dengar!” seru Kang
Ajat tegas, “Semua siap dalam waktu dua puluh menit”
“YA, KANG!!!”
22.30
Adistia menyelesaikan
tugas hari ini dan melakukan briefing singkat dengan timnya untuk membersihkan
dapur dan persiapan untuk esok hari. Meski itu tugasnya asisten, tapi ia turun
langsung dan ikut membantu. Pada saat membersihkan sayup-sayup ia mendengar
dari bagian dapur lain, “Lihat tuh, si Adistia caper banget,ya? Sok-sokan bantu
asisten.” Dan ia hapal itu suara dari Fahira.
“Ya sudah lah mungkin
mentalnya memang asisten tapi terlalu cepat naik pangkat karena pakai jalur
orang dalam.” Timpal lainnya.
Nadira menahan amarah
dengan menggenggam pisauh yang sedang dibersihkan dan secara refleks ia menusukkan
pisau ke arah buah Semangka yang setengah terpotong.
SHIT!
Bersambung
pas adegan awalnya saja sudah ngeri aku..sepertinya ini mini seri bisa masuk pembunuhan berantai. lanjutkan kak ! kut tunggu lho.
ReplyDeleteIya, bikin cerita horor malah serem sendiri jadi ala-ala detektif aja lah
DeleteLanjuuuutttt
ReplyDeleteUdah dikunjungi sama pije nih
Delete