Lapangan Gasibu
Bandung menjadi tempat yang ramai untuk berolahraga dan kalau hari minggu
terdapat pasar kaget minggu. Lokasi yang digunakan untuk rekreasi, lari pagi
atau sekedar menjadi tempat tujuan untuk berkumpul. Terdapat pula tempat
bermain dan spot-spot menarik lainnya sehingga tidak jarang menjadi
tempat piknik mendadak bagi keluarga.
Adistia dan Patra
memenuhi janji mereka untuk lari pagu dan keduanya menyelengi dengan canda
tawa. Lalu mereka beristirahat, keduanya memilih duduk di pinggir arena lari.
Napas Adistia terengah-engah, sesekali mengelap keringat, “Haduh…. udah lama ga
lari lumayan cape banget, ya! Kamu kok bisa ga kecapekan?” tanya Adistia
“Hampir tiap hari aku
lari pagi sekitar rumah dan bahkan ke gasibu juga, supaya bisa menjaga
kebugaran tubuh dan performa di dapur bakal bagus!”
“Kayanya percuma, deh,
kamu olahraga tapi tiap di dapur diusir melulu gara-gara bikin lauk pauk ga
sesuai standar Kang Ajat, hahahahah” Nada Adistia sedikit meledek Patra.
“Iya juga,sih” Ardi
tertawa renyah lalu melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 07.30 WIB. “Baru
jam setengah delapan,nih. Masih ada banyak waktu sebelum kita berangkat ke
rumah makan jam dua belas nanti. Gimana? Kamu mau kemana dulu?
“Hmm. sepertinya
pulang aja,deh.” kata Adistia. “ Kalau aku jam 9 di telepon ayah pasti sambil
melacak IP address ponselku. Kalau posisiku bukan dirumah atau di rumah
makan, maka akan ada seseorang yang menghampiri kita.”
“Mungkin itu juga yang
menjadi faktor, banyak cowok yang mundur perlahan untuk dekati kamu.” kata Patra
“Eh, kalo gitu, kamu
main ke rumahku aja. Nanti aku buatin kue awug dan beberapa masakan lainnya.”
“Oh tentu mau sekali,
siapa tau lihat km masak, aku jadi ga dimarahin sama Kang Ajat terus. Tapi g
ada ayahmu, kan? nada Patra dengan sedikit was-was
Mobil Ardi sudah
sampai di area rumah Adistia , tapi gadis itu menyuruh Patra masuk lewat area blok barat. Rupanya satu blok
dimiliki oleh keluarga Adistia. Bahkan untuk sampai masuk ke area rumah,
beberapa kali harus melewati beberapa kali penjaga dan sistem keamanan yang
ketat. Didalam area rumah utama,
terdapat beberapa mobil mewah keluaran Eropa dan Jepang, bikin Patra merasa
minder dengan mobil yang ia bawa.
Walau diluar Nampak rumah
modern minimalis tapi ketika masuk ke rumah Adistia, siapaun akan terkejut
dengan nuansa desain interior sunda yang walaupun agak semi modern, perpaduan material
batu alam dan bambu pada tembok dan sudut rumah. Disaat yang lain menggunakan
anyaman jadi dan tempelan, tetapi hampir semua yang terpajang di rumah Adistia,
semuanya asli.
Untuk masuk ke ruang
utama rumah harus dengan memencet kode akses di panel pintu pembatas, rumahnya
menggunakan fitur Google Home, sehingga setiap peralatan tersambung
dengan ponsel orang-orang di rumah ini. Sesampainya di ruang utama, mereka
langsung menuju dapur untuk memasak. Adistia memiliki dapur khusus untuk
dirinya sendiri dengan dilengkapi full set professional kitchen dengan
desain futuristic dan membuat Patra terpukau dibuatnya.
“Gila! Keren banget
ini dapur! Rumah kamu ini modern dan futuristik dari luar tapi dalamnya
tradisional dan perlengkapan dapurmu desain tradisional tapi perlengkapan
lengkap sekali.” Mata Patra mengedar ke seluruh penjuru dapur dengan
berbinar-binar.
“Ayah memang suka
desain interior, ia mencoba segala hal gaya desain, walau akhirnya tetap kembali
ke konsep tradisional.” Nadira menanggapi omongan Patra sambil memotong-motong
bahan masakannya. “Dia juga ada kenalan orang-orang IT dari beberapa negara
lain.”
“Ternyata kemampuan
memasakmu bertambah hebat bukan hanya karena sering dilatih tapi didukung
dengan finansial yang memadai, ya?” Patra menggeleng tak habis pikir dengan
segala kemewahan yang ada dirumah Adistia. Nadira hanya tertawa menanggapi ucapan
dari Patra.
Sejam berlalu dengan
cepat, keduanya selesai memasak satu set menu sederhana yaitu karedok, kue awug
dan es cendol. Adistia agak segan melihat kue awug, sebab hidangan itu menjadi
salah satu bukti pembunuhan Fahira.
Melihat Adistia
sedikit bengong, lalu Patra menyadarkan lamunan Adistia dengan bertanya. “Karena
ini hidangan khas kamu, coba jelasin hidangan kamu ini.”
“Awug adalah satu dari
sekian banyak penganan khas masyarakat Sunda atau Jawa Barat. Diolah dari
tepung beras (paré) yang dicampur dengan air, garam, gula merah dan kelapa
parut serta dimasak dengan cara dikukus. Kue Awug yang ku hidangankan sekarang,
versi originalnya bukan seperti yang ku hidangkan di Rumah Makan yang sudah banyak
modifikasi” terang Adistia
Lalu Adistia
melanjutkan “Karedok dibuat dengan bahan-bahan sayuran mentah, sedangkan
sausnya adalah bumbu kacang yang dibuat dari cabai merah, bawang putih, kencur,
kacang tanah, air asam, gula jawa, garam, dan terasi. Salah satu ciri dari
karedok adalah menggunakan oncom bakar. Bila tidak menggunakan oncom bakar
disebutnya lotek mentah (atah). Karedok biasanya menjadi makanan pelengkap
dalam menu sehari-hari orang Sunda, cocok untuk kita yang beres olahraga.”
“Cendol sebagai
minuman tradisional khas Indonesia ini dulunya terbuat dari tepung hunkwe,
tetapi kini cendol terbuat dari tepung beras, disajikan dengan es parut serta
gula merah cair dan santan. Minuman ini memiliki rasa yang manis dan gurih. Di
daerah Sunda Jawa Barat, minuman ini dikenal dengan nama cendol, bila di rumah
makan aku dituntut untuk membuat hidangan sesuai dengan permintaan maka dirumah
ini, aku ratu yang menentukan menu yang mau aku hidangkan.” Tutup Adistia
kepada Patra seolah seperti guru yang sedang menjelaskan kepada muridnya.
“Ternyata kamu persis
seperti gambaran rumahmu, dari luar tampak futuristik tapi ternyata tradisional
sekali dan tetap mempertahankan autentiknya sebuah hidangan.” puji Patra pada
Adistia
Di tempat yang lain, Inspektur
Amhar dan Rakha mendatangi rumah Nisa untuk melakukan penyelidikan lanjutan. Perlu
upaya yang besar hingga melibatkan koneksi khusus untuk mendapat data tentang
Adistia terutama Nisa, kasus yang awalnya bagi Inspektur Amhar mudah tapi
ternyata banyak terkendala pada keamanan berlapis hanya karena sebuah pencarian
informasi.
Setelah sampai di
rumah Nisa yang dengan desain dengan gaya skandinavia, sudah dihidangkan kopi
oleh art tapi masih enggan sebelum sang tuan rumah datang.
“Selamat siang bapak-bapak,
silakan diminum, tenang saya tidak meracuni dengan sianida, saya tidak ingin
rumah saya nantinya jadi konsumsi publik.” sapa Nisa dengan penampilan santai
dan bikin kedua polisi ini justru makin segan.
“Begini, kedatangan
kemari adalah melakukan penyelidikan lanjutan kasus pembunuhan Fahira Azzahra.
Kami meminta keterangan dari Anda. Apakah anda tidak keberatan?”
“Silakan saja, Pak”
“Menurut keterangan
sahabat korban, orang terakhir yang bertemu dengan korban adalah Anda, boleh
saya tahu, apa yang kalian bicarakan pada waktu itu?”
“Pasti tahu dari Kania,
ya” Jawab Nisa langsung dan ekspresi Inspektur Amar yang sedikit terkejut dan
terdiam membuat Nisa melanjutkan obrolan kembali, “Obrolan saya dengan korban
hanya sebatas memberikan peringatan karena kinerja yang menurun dan sering
terlambat, saya punya bukti untuk membuktikan perkataan saya.”
“Boleh saya lihat?”
Tanya Inspektur Amar
“Bentuknya rekaman
suara yang memang tadinya buat bukti yang saya sampaikan ke Kang Ajat, silakan
dilihat, Pak!” sahut Nisa
Lalu rekaman pun
diputar dan setelah rekaman selesai
diputar Nisa membisikan sesuatu kepada Inspektur Amar terdiam dan lalu pamit
undur diri, membuat Rakha terheran-heran dengan kelakuan atasannya.
Sepeninggal kedua
polisi itu, Nisa tetap bertahan dengan posisinya. Wanita itu menyunggingkan
bibir menatap kehampaan ruangan rumahnya. “Semua sesuai rencana….”
Bersambung
Post a Comment
Post a Comment