Adistia terbangun dari
tidurnya. Dengan napas terengah-engah, bullir-bulir keringat membasahi sekujur
tubuhnya.Adistia tercenung memikirkan mimpinya barusan. Pertanda burukkah atau
baik? Ia dikejar-kejar oleh Fahira dan Kang Ajat secara bersamaan. Gangguan
kecemasan yang diidapnya sejak SMP memperburuk keadaannya saat ini. Ingin rasanya
ia menghubungi Patra tetapi diatas tengah malam, ip address-nya pasti dilacak
apabila dia melakukan aktivitas yang diluar kebiasaan.
Seseorang yang biasa
ia telepon dalam keadaan darurat sudah menyarankan untuk ‘Mati’. ‘Mati’ yang
dimaksud yaitu menghilangkan riwayat hidupnya. Secara hukum, Adistia akan
dianggap sudah tidak ada dan tidak terikat apapun dengan keluarganya. Di mata
hukum, ia nantinya akan sama dengan Wisesa Sutresna, kakak lelakinya. Yang
memutuskan terlepas dari belenggu The High Table, daftar orang kaya di
dunia yang dalam daftar orang kaya pasti tidak ada, kalaupun terlihat, hanya
terlihat sebagai pengusaha biasa aja, padahal kekuatan dan pengaruhnya luar
biasa dalam mengatur segala hal yang terjadi di dunia termasuk pembunuhan politisi
yang digadang-gadang sebagai calon kuat Presiden mendatang, karena sudah mulai
mengusik dan mencari informasi tentang The High Table.
Apabila ibunya sedang
tidak ada di Indonesia, berarti sedang mengunjungi putranya dengan kedok,
mengunjungi bisnis barunya di salah satu negara di Eropa yang tidak memiliki
keterikatan perjanjian ekstradisi dengan negeri ini. Wisesa yang sudah berganti
identitas dan sempat melalukan beberapa operasi plastik, sudah bahagia dengan
jalannya sendiri. Adistia masih ingin kehidupannya di Indonesia walau harus
dengan segala sistem keamanan dan pantauan dari orang-orang ayahnya,
Adistia tersadar dari lamunan
dan kembali melirik ponsel. Rupanya terdapat beberapa pesan, kebanyakan
menawarkan promo dan segala pesan tidak penting lainnya. Diantara pesan
tersebut, terdapat satu pesan dari nomor yang tidak dikenal. Ia membukanya.
***
Di waktu yang sama namun
tempat berbeda, setelah Inspektur Ammar menyuruh anak buahnya untuk kontak
ketiga terduga tersangka pembunuhan, yaitu Adistia, Patra dan Nisa. Untuk
datang ke kantor esok hari. Lalu ia memberi perintah pada Rakha.
“Besok pagi-pagi
sekali, kirim tim forensic ke Rumah Makan Sunda Citraloka. Perikasa kembali
loker Fahira, mungkin saja ada sidik jari pelaku yang tertinggal. Dan juga,
periksa sendok yang digunakan Kang Ajat di Tempat Makan Ayam Penyet di Ciumbuleuit.
Saya ingin laporannya sudah ada di meja saya sebelum jam delapan pagi. “
“Baik, Pak” Rakha
berlalu meninggalkan atasannya untuk mempersiapkan tugas yang diperintahkan.
Sepeninggal anak
buahnya, Inspektur Amar kembali berbalik ke arah papan tulis. Ia menyunggingkan
senyum ke arah salah satu foto tersangka.
“Mungkin orang lain bisa tertipu olehmu, tapi saya tidak.”
***
BRAK!
“Apa saja kerja
kalian?!” sahut Komandan sembari menggebrak meja kerja Inspektur Amar. Ia
menatap Inspektur Amar yang berdiri di belakang mejanya, dengan murka,
sementara tiga orang reserse kriminal lainnya, termasuk Rakha berbaris merapat
dengan tembok. “ Sudah dua pembunuhan terjadi dan kalian belum tahu siapa
pelakuknya?”
“Kami sudah punya tiga
tersangka, Pak” ujar Inspektur Amar tak gentar, “Dan sekarang mereka sedang
menuju kemari.”
“Kenapa baru sekarang
kalian bertindak?” Sang Komandan masih bersikeras. “Di luar sana ada banyak
wartawan yang ingin minta kejelasan mengenai kasus ini!”
Sang Komandan tidak
berbohong, di depan dan sekitar komplek, sudah menumpuk awak media. Satu kal
yang wajar karena korban kedua merupakan orang terkenal, berbeda dengan korban
pertama yang hanya juru masak biasa. Berita mengenai kasus ini sudah bisa
dijadikan sebagai berita utama, tidak sekedar berita online yang lewat dan sudah
viral di sosial media.
“Pokoknya, kasus harus
selesai hari ini juga.”
“SIAP, KOMANDAN!” seru
keempat polisi di ruangan itu.
Sebelum berlalu, Komandan
menatap Inspektur Amar. “Kamu yang urus media.”
“Kawan-kawan media,”
kata Inspektur Amar. Semua wartawan yang meracau tidak jelas berhenti bicara. “
Dalam waktu dekat kami akan melakukan pemeriksaan membutuhkan ketenangan.
Setelah kasus selesai, kami akan melakukan konferensi pers secepatnya. Terima
kasih.”
Berkat ucapan
Inspektur, lambat laun para wartawan pergi, meskipun beberapa masih berada di
sekitar kantor polisi untuk sarapan dan berharap dapat info tambahan, itu tidak
mengganggu jalannya pemeriksaan nanti.
Akan gawat nantinya
jika media mengekspos keterlibatan Adistia dalam kasus ini, bukan hanya dirinya
yang hancur tapi instansi dia pasti akan bermasalah kedepannya.
Baru saja Inspektur
Amar menyuruh anak buahnya untuk membereskan tempat konferensi pers, tak berapa
lama datang sosok Nisa dengan penampilan elegan dan misterius. Ia bertanya
harus kemana dan lalu diantarkan oleh anak buahnya. Beberapa menit kemudian,
mobil Patra berhenti di dekat kantor dan ternyata ia bersama Adistia.
Setelah kedua orang
itu berlalu, Inspektur Amar mengembuskan nafas berat. “Mari kita mulai”
***
Ia masuk ke ruangan
yang memang sudah disiapkan anak buahnya untuk memulai deduksi, dengan berusaha
memasang pose keren dan nyaman, agar terlihat santai.
“Terima kasih saya
ucapkan kepada saudara-saudari yang telah menyempatkan hadir,” ucap Inspektur
Amar membuka percapakan. “ Mohon maaf atas permintaan kehadiran yang begitu
mendadak. Kami telah menemukan sesuatu yang penting yang membawa kami pada
pelaku pembunuhan Fahira Azzahra dan Ajat Kertajasa.”
Ketiga orang itu diam
mendengarkan tidak ada ketertarikan untuk memotong atau mengintrupsi ucapan si
polisi.
“Ada beberapa hal yang
terlewat sehingga kami sulit untuk memastikan tersangkanya. Tapi beberapa hal
itu sudah kami pastikan sangat cocok dengan dugaan kami sebelumnya.”
Adistia langsung merasakan
gangguan kecemasannya mulai melonjak. Ia berusaha menahan diri, agar tidak terlihat
yang lain.
“Pada penyelidikan
pertama, semua mengarah pada satu nama yaitu Adistia. Replika hidangan, sidik
jari dan dendam korban karena iri dengan pencapaian karier. Tapi beberapa bukti
yang bisa dipatahkan, seperti kudapan yang ternyata terinspirasi dari menu yang
sudah ada dan bisa dimasak oleh siapa saja, penyelidikan dari percakapan korban
dengan Saudara Adistia serta pisau dapur Rumah Makan Sunda Citraloka yang sama
persis dengan yang digunakan pelaku, tidak berkurang sama sekali. Yang tersisa
dari bukti yang mengarah dari bukti yang mengarah ke Adistia?”
Inspektur Amar
melangkah ke depan Adistia yang dari awal selalu menunduk, “ Jawabannya ada di
loker korban. Beberapa jam lalu, kami mengirimkan tim forensik untuk memeriksa isi
loker Adistia. Hasilnya ada sidik jari orang lain selain korban adalah untuk
mencuri sesuatu, yaitu akses akun WhatsApp. Korban memang memiliki kebiasaan
menaruh ponselnya di loker dan diketahui oleh pelaku. Akun WhatsApp milik
korban digunakan untuk menjebak Adistia datang ke TKP.”
“Kenapa Adistia tidak
mau mengatakan fakta bahwa dia ke TKP disaat melihat Fahira sudah menjadi
mayat, karena ia memiliki gangguan kecemasan.”
Adistia sedikit
terkejut, bagaimana bisa Inspektur Amar tahu fakta itu, bahkan di Rumah Makan,
ia hanya cerita fakta tersebut kepada Mang Suhe. Patra ingin menghibur Adistia
tapi situasi sedang tidak memungkinkan, Nisa pun hanya diam saja dengan
pikirannya.
“Saya mengetahui dari
awal bertemu dan seperti yang sekarang sedang ditunjukkan pada kita semua,
gangguan kecemasan Adistia bila tidak segera kita buat nyaman pasti akan
meledak emosinya.” tutur Inspektur Amar dan pandangan mata semua yang ada diruangan
langsung pada Adistia. “Semua asumsi saya sudang berdasarkan konsultasi dengan kenalan
psikolog dan dokter yang biasa menangani kasus di polsek ini.”
“Pada pembunuhan kedua
yang memang sudah menjadi incaran utama dari pelaku. Setelah Adistia
menyelesaikan perselisihannya dengan korban, ada informasi tipis dari seseorang
bahwa ada orang yang mengunjungi korban sebelum hidangan datang. Ajat memiliki
kebiasaan mengobrol dengan pemilik tempat makan, itupun yang dijadikan celah
pelaku melakukan aksinya.:
Sedikit terdiam
beberap detik, untuk mengatur emosinya lalu Inspektur Amar melanjutkan
deduksinya, “Pelakunya yang berkelakuan aneh di Rumah Makan dan selalu gelisah pada
malam pembunuhan Fahira, lalu membuka loker untuk mencuri akses akun WhatsApp
korban. Orang yang memanfaatkan situasi untuk mendekati Adistia, agar segala
akses informasi bisa didapatkan, agar ia tidak dicurigai sebagai pelaku. Orang
yang memiliki dendam besar kepada korban kedua. Orang itu adalah ….”
Bersambung
Post a Comment
Post a Comment