“Pelakunya yang
berkelakuan aneh di Rumah Makan dan selalu gelisah pada malam pembunuhan
Fahira, lalu membuka loker untuk mencuri akses akun WhatsApp korban. Orang yang
memanfaatkan situasi untuk mendekati Adistia, agar segala akses informasi bisa didapatkan,
agar ia tidak dicurigai sebagai pelaku. Orang yang memiliki dendam besar kepada
korban kedua. Orang itu adalah Ageng Patra Sapariah atau lebih tepatnya bernama
Patra Sapariah Cumantaka” Semua mata memandang heran menatap Patra tapi tidak
dengan Nisa
“Tidak mungkin!” Patra
bangkit dari duduknya. “Mana bisa kau menuduhku hanya dengan petunjuk tidak
jelas itu? Aku tidak bisa menerimanya!”
Lalu Patra melanjutkan
kembali bantahannya dengan nada yang lebih tinggi, “Lebih banyak bukti yang
mengarah Adistia, kenapa ketika ada bukti yang hanya sedikit mengarah kepadaku, kalian langsung menuduhku sebagai
pelaku?!?”
Adistia langsung
terhenyak dengan perkataan Patra, benar sesuai deduksi Inspektur Amar, pria
yang selama kasus berjalan mendekatinya hanya sekedar memanfaatkan dirinya saja
dan bahkan tetap menyudutkan dirinya agar sesuai dengan asumsi yang sedang
berkembang.
“Dia memiliki alibi.”
kata Nisa dengan nada tenang dan ekspresi tak terbaca oleh siapapun.
“Alibi?” tanya Patra
“Pak Amar khawatir Adistia
dijebak oleh pelaku dengan bukti-bukti yang sengaja diarahkan kepadanya.”
terang Nisa. “Jadi, Pa Amar meminta tolong kepada saya untuk mengawasi dan
menjaga Adistia dari terduga pelaku.”
“Oh jadi itu, obrolan
yang tidak saya ketahui ketika penyelidikan ke rumah Nisa beberapa waktu yang
lalu?” celetuk Rakha berusaha memahami situasi.
Inspektur Amar
mengangguk, tapi ia penasaran dengan detail alibi yang Nisa maksud. “Saya
memang meminta anda untuk mengawasi dan menjaga Adistia, tapi kalau masalah
alibi, apa yang anda maksud?”
“Kemarin malam, saya
membuntuti Adistia dan merekam perbincangan dengan Kang Ajat. Saya bisa
menunjukkan video hasil rekamannya.”
“Tapi, kenapa Teh Nisa
membuntuti saya dan merekam obrolan saya dengan Kang Ajat.” Kini Adistia
berucap
“Bukannya dengan video
ini, alibimu jadi semakin kuat? Ada masalah?” Nisa melirik Adistia dan Adistia
hanya bisa menelan ludah.
Lalu semua yang ada
diruangan melihat jelas dalam video itu, Adistia hanya melakukan kontak mata
atau fisik. Ia berbicara dengan kepala tertunduk. Hingga video berakhir tak ada
sama sekali pergerakan mencurigakan, ia mencampurkan sesuatu benda yang ada di
meja dan ditambah, belum ada makanan yang tersaji pada saat Adistia datang.
“Sekarang sudah jelas,
kan?” tantang inspektur Arga, Patra pun bungkam dan nafasnya tidak beraturan. “Hanya
dirimu seseorang yang melakukannya. Selain itu, di ponsel dan loker Fahira
terdapat sidik jarimu. Begitu juga pengakuan pengunjung dan sempat memberikan
rekaman story-nya yang secara tidak sengaja merekam kamu, telah datang terlebih
dahulu dibanding Adistia ke lokasi untuk mengobrol dengan Kang Ajat.”
“Selain itu, divisi cyber
crime telah melacak riwayat penggunaan akun WhatsApp Fahira. Akun itu terdapat
di dua ponsel yang berbeda. Aktivitas terakhirnya adalah melakukan komunikasi
satu kali ke nomor Adistia. Setelah diperiksa lebih lanjut melalui IMEI ponsel,
IP address, dan riwayat pembelian ponsel itu terdaftar atas nama Patra
Sapariah Cumantaka.”
Patra tertunduk lemas.
Tak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk membela diri. Ia telah terpojok dan
tersudut, dan tidak ada pilihan lain selain mengakuinya
“Iya, sayalah
pelakunya.”
Setelah menceritakan
detail kejadian pembunuhan Fahira dan Kang Ajat, Patra duduk termanggu,
“Apa motifmu melakukan
pembunuhan terhadap Fahira dan Kang Ajat?” tanya Rakha
“Kang Ajat pesaing
bisnis ayahku, dulu saat Rumah Makan Sunda Citraloka belum sesukses sekarang.”
ujar Patra. “Karena kalah saing, Kang Ajat menggunakan cara kotor untuk
menghancurkan usaha ayahku. Dia mengajak Fahira yang ayahnya adalah preman pasar
untuk bekerja sama, ayahnya Fahira beserta gerombolannya membakar restoran
ayahku. Aku tidak mempermasalahkan bangunan yang dibakar, masih bisa direnovasi
dan mulai dari nol. Tapi mereka tidak memberikan kesempatan kepada kedua orang
tuaku untuk keluar menyelamatkan diri. Mereka mengikat orang tuaku didapur.”
Patra sempat terdiam sebentar mengatur emosinya yang tak tertahan menceritakan
kembali kisah lamanya. “Akhirnya entah bagaimana caranya, Kang Ajat akhirnya
tahu aku siapa sehingga ia selalu berusaha menyudutkanku pada kesalahan kecil
apapun agar bisa dikeluarkan dari rumah makan, sejak kapan anda tahu bahwa aku
pelakunya?”
“Saat divisi cyber
crime melaporkan hasil laporannya
dan muncul namamu, mengingatkanku pada kasus orang tuamu. Saya salah satu
polisi yang ikut menyelidiki kasus itu. Berdasarkan bukti yang ada, itu
hanyalah kasus kebakaran biasa. Saya tidak percaya dan menyelidiki kasus ini
sendirian. Ada keterkaitan Kang Ajat pada kasus orang tuamu tapi karena
dikantor ini saya masih dianggap anak baru, jadi kinerja saya tidak dipercaya
oleh atasan saya kala itu.” Inspektur Amar melirik tajam ke arah komandannya
yang sedang mengawasi dari jauh, kerjaan anak buahnya dan ketika mengetahui ia
sedang disindir oleh anak buahnya lalu mengalihkan pandangan. “Adikmu mungkin
ikut bekerja sama dalam menciptakan alibimu tapi kami punya bukti cctv di sekitar
kosanmu dan stasiun Bandung, bahwa kamu tidak mengantar adikmu ke stasiun.”
Inspektur Amar melirik
prihatin ke arah Patra, “Sekarang, dengan kejadian pembunuhan berantai ini,
saya sudah tahu seperti apa rasanya sakit hati yang terdalam seorang anak dalam
melampiaskan balas dendam. Semoga alasan dendammu menjadi pertimbangan di
pengadilan dalam hasil dakwaanmu, perlu kalian ketahui, sekarang ayah Fahira
dan komplotannya sedang dijemput oleh anak buah kami, mohon saudara selain
sebagai tersangka, juga memberikan saksi untuk kasus ayahmu. Saya mau
mengakhiri masa dinas saya disini dengan membereskan kasus yang selalu
menghantui hidup saya karena belum diselesaikan,” Ungkap Inspektur Amar kepada
Patra dan Patra hanya bisa menunduk.
***
Adistia mengambil alih
kepemilikan Rumah Makan Sunda Citraloka. Mang Suhe, ia angkat sebagai kepala rumah
makan, Adistia terlatih memiliki insting yang tajam oleh ayahnya. Di tangan kepemimpinan
Mang Suhe, tentu Adistia tidak perlu merasa takut, otentik rasa walau dengan
segala modifikasinya akan tetap dipertahankan. Ia tidak akan terjun secara
langsung karena itu merupakan sistem kerja dari The High Table, akan
tetapi di waktu tertentu atau disaat ia ingin, ia akan datang sebagai juru
masak biasa dan posisi sebenarnya dia sebagai apa, hanya akan diketahui oleh
Mang Suhe dan orang kepercayaannya yang sengaja ia tempatkan untuk mengawasi
selama ia pergi belajar ambil kuliah singkat ke Eropa untuk mengembangkan
kemampuannya.
Sementara itu, Nisa mengundurkan
diri dengan alasan tidak bisa melanjutkan tugas sebagai juru masak karena ada alasan
mendesak tapi Adistia tahu, Nisa adalah salah satu penjaga bayangan The High
Table, yang dimana ketika sudah tidak ada disana berarti tugas dia selesai
dan akan dilanjutkan tugas berikutnya.
***
Nisa yang sedang mengemas
beberapa barang yang dibutuhkan, ia sebenarnya suka ditempatkan di Bandung,
tempat yang memiliki udara yang cocok dengan tubuhnya dan segala keindahan
kotanya, tetapi ia bagaikan prajurit yang setiap saat harus mau ditugaskan dan
ditempatkan dimanapun, lalu ia menelepon seseorang, “Calon putri mahkota sedang
dalam misi pengembangan diri diluar jangkauan saya, sebutkan lokasi dan operasi
saya selanjutnya, saya akan segera meluncur kesana.”
SELESAI
Waw...
ReplyDeleteYang penting tamat deh bikin ini hahaha
Delete