“Nikah sudah lama kok belum hamil-hamil?”
Asing tidak dengan pertanyaan ini?
Seperti mendapat pertanyaan yang berlanjut, ketika belum menikah akan mendapat
pertanyaan kapan menikah. Maka setelah hamil akan mendapatkan pertanyaan,
“Sudah isi atau belum?”.
Seolah stigma itu bagai menghakimi para
perempuan. Bahkan pernah melihat salah satu video di aplikasi berbagi video,
lebih aib perempuan yang sudah menikah tapi tidak hamil-hamil daripada
perempuan yang hamil diluar menikah. Tidak setuju? Cobalah jadi perempuan yang
sudah menikah tapi belum juga diberikan kepercayaan untuk diberi keturunan.
Mengapa kalimat akhir seolah sedikit
terbaca sinis? Salah satu perempuan yang mendapat penghakiman atas situasi tersebut,
salah satunya adalah saya. Menikah di tahun 2017, bukan tidak pernah mendapat
pertanyaan, sudah hamil atau belum. Bahkan berbagai nada sudah kenyang diterima
hampir 5 tahun, dari mulai yang nanya agak halus, sekedar basa-basi, sedikit
menyindir hingga secara terang-terangan menanyakan. Menerima pertanyaan dari
mulai menganggap sebagai doa agar segera diberi keturunan, balas menyudutkan,
dicuekin sampai akhirnya ingin sekali teriak, “Bisa ga, ga usah tanya-tanya,
sakit tau dapat pertanyaan itu”
Pernah Hamil
Saya bukanlah perempuan yang belum
dikarunia berkah kehamilan, tapi pernah hamil hanya Allah ingin menguji
kesabaran dengan memberikan ujian keguguran. Juli 2021, tentu sebagian masih
ingat bagaimana hampir di seluruh dunia dihebohkan dengan berita melonjaknya
kembali pandemi. Disaat situasi tersebut, saya tidak menjadi salah satu
penyintas corona, tapi dianugerahi kondisi keguguran.
Ditanya bagaimana perasaan kala itu, ah
sepertinya bagian terpuruk secara fisik dan mental ada semua pada waktu itu. Keinginan
untuk bercerita selain kepada suami, selalu ingin diceritakan baik ke keluarga
dekat ataupun sahabat, hanya teredam karena selalu memikirkan orang lain jauh
lebih susah masa mau membebani dengan kesedihanmu.
Bisa dibilang itu salah besar, seminggu
pertama liat apapun yang sifatnya hamil dan anak pasti langsung mellow.
Akhirnya di akhir juli memutuskan bercerita ke salah satu sahabat, paling tidak
kalau benar-benar butuh tempat sampah, ada orang yang tepat yang tahu kondisi
saya. Berkat dia juga, saya pelan-pelan mulai membuka cerita ke keluarga dan
beberapa teman terdekat. Lebih mudah berbagi dan pamer sedang makan dimana dan
sedang baca buku apa ternyata bukan pamer kesedihan.
Self Love Salah Satu Solusi Trauma
Sebelumnya pernah saya tuliskan tentang
self love, itu bukan sekedar tulisan semata, tapi memang benar sudah
dilaksanakan ketika mengalami situasi terpuruk itu. Istilah cinta diri atau
self love belakangan ini sering kita dengar.
Istilah yang bisa kita lihat dari lagu,
kutipan, kiriman di media sosial, komunitas hingga percakapan sehari-hari, kata
self-love ini terdengar dimana-mana.
Tapi sesungguhnya bukan hanya itu, bisa juga jadi solusi dalam mengatasi
trauma. Ketika kamu belum atau tidak memutuskan untuk ke psikolog, cobalah
cara-cara yang pernah saya lalui. Tapi sebelumnya kita bahas dulu pengertian
Self Love
Apa Itu Self Love?
Dalam buku A Hand Book For Self-Love
karya Astrid Savitri disebutkan bahwa :
Mencintai diri sendiri bukan sekedar
merasa bahagia, melainkan sebuah tindakan. Cinta diri adalah sebuah pilihan.
Ini adalah cara berhubungan dengan diri sendiri yang melibatkan pemahaman atas
kesalahan, memahami kekurangan, dan mampu berkomunikasi secara efektif dengan
diri sendiri tentang kehidupan tanpa menghakimi atau menghukum diri sendiri
dengan keras.
(Hal. 43)
Bisa jadi pada saat trauma kita dibuat
lupa untuk mencintai diri sendiri karena terlalu menyalahkan diri sendiri,
tetapi sebagian besar bermula dari tindakan orang-orang di sekitar kita. Dampak
panjangnya menjadi sebuah peristiwa traumatis dalam hidup kita, karena kita
tidak memiliki contoh cinta diri yang baik.
Lalu bagaimana Self Love bisa menjadi
solusi untuk trauma?
Cintai Diri, Mulai dari Mana?
Cinta diri bisa dipelajari dan
dipraktikkan. Beberapa kiat untuk memulai mencintai diri sendiri:
1.
Kenali Perasaan
“Kenapa masih kepikiran masalah
tersebut?”
“Kenapa masih menyalahi diri sendiri?”
“Kenapa terlalu berlarut-larut dalam
kesedihan?”
“Kenapa tidak mencoba buka diri untuk
terbuka kepada orang lain?”
Ini bukan minta dikasihani dan memberi
pemakluman pada saat kita sedang fase emosi, tapi sebagai langkah pertama untuk
mengatasi masalah adalah mengakui bahwa saya memiliki masalah.
2.
Terima Perasaan
Setelah mengakui bahwa memiliki
masalah, maka selanjutnya yaitu menerima perasaan, meskipun tidak ada yang salah dengan perasaan
emosi-emosi tersebut.
3.
Pikiran Perasaan
Dari Perspektif Orang Luar
Bagaimana perasaan kita jika melihat
orang yang kita cintai mengalami perasaan yang kita alami saat ini? Jangan
sampai orang lain jadi pelampiasan emosi kita tapi tidak tahu sebenarnya
masalah kita apa.
4.
Maafkan Diri
Terkadang kita bisa begitu keras pada
diri sendiri, padahal penting untuk memberikan diri istirahat. Kita terkadang
bisa menjadi musuh terburuk bagi diri sendiri, dengan menyalahkan diri sendiri
saat masalah. Itulah salah satu alasan, mengapa begitu susahnya untuk mencintai
diri sendiri.
5.
Katakan Tidak
Pada Orang Lain
Luangkan waktu untuk diri sendiri.
Tidak apa-apa untuk mengatakan tidak kepada orang lain jika merasa perlu. Ketika
sudah berani tegas kepada orang lain, maka secara tidak langsung kita bisa
tegas untuk diri sendiri. Mengukur apa yang menjadi batasan diri terhadap
perasaan.
Bekah Setelah Melewati Fase Trauma
Tentu tidak semudah yang bisa
dibayangkan melewati fase-fase terpuruk, ada kalanya mulai dari awal lagi
karena tiba-tiba mellow. Tapi setelah banyak menonton video ahli dan membaca
referensi buku, saat kembali ke nol adalah wajar. Hati perlu juga untuk adaptasi
untuk terbiasa dan beranggapan bahwa kemarin adalah fase hidup yang harus
terlewati.
Waktu terus berjalan dan tentu kembali
menjalani rutinitas seperti biasa. Bahkan pada saat fase mulai memaafkan diri
sendiri, akhirnya banyak memutuskan untuk aktif di berbagai kegiatan sosial
media yang sifatnya online. Pada saat menarik diri dari beberapa kehidupan,
banyak hal yang terseleksi dengan sendirinya, kita tahu mana yang kebutuhan dan
mana yang harus diprioritaskan.
Awal Desember sudah mulai merasa ada yang
aneh dengan gejala badan, karena sudah melewati hampir 5 tahun dengan aneka
harapan dan bahkan dikecewakan dengan hasil yang selalu garis satu. Maka
memutuskan untuk tidak berharap dulu. Hingga akhir Desember udah benar-benar di
fase harus memastikan ini benar positif atau engga, karena mau daftar vaksin
booster. Dan ternyata hasilnya positif, Alhamdulillah dan kemarin baru selesai
syukuran 4 bulanan di rumah keluarga suami, karena keluarga saya tidak terlalu
menganut syukuran diluar yang disunahkan dan diwajibkan oleh Agama.
Mungkin saya salah satu yang beruntung,
jarak kesedihan dan kesenangan tidaklah terlalu jauh. Diluar sana tentu banyak
yang masih berjuang untuk garis dua. Siapapun yang sedang berjuang, semoga
disegerakan tepat pada waktunya. Mohon doanya agar saya dan calon bayi diberi
kelancaran, kesehatan dan keselamatan hingga persalinan.
Penutup
Biarkan masa-masa terpuruk berlalu dan
jangan biarkan dampak buruk dari kejadian tersebut merusak banyak hal yang
harusnya kita lewati dengan bahagia.
Apabila setelah mengalami kejadian
traumatis, bahkan merasa sulit menjalani aktivitas sehari-hari, sulit
berkonsentrasi, susah tidur, mengalami perubahan mood yang drastis seperti
depresi, atau merasa cemas berlebihan, atau muncul ide untuk bunuh diri, segera
konsultasikan ke ahlinya yaitu psikolog atau psikiater.
Sobat Jelajah mia pernah mengalami fase
trauma yang bikin terpuruk?
Referensi
A Handbook For Self-Love karya Astrid
Savitri
Selamaat menikmati masa2 kehamilan kedua, ya, mba, semoga lancar sampai hari H. Trimakasih sudah berbagi pengalaman.
ReplyDeleteAlhamdulilah..selamat untuk kehamilannya. Semoga lancar, dimudahkan hingga nanti. Ibu, calon debay, juga sehat semua . Aamiin. Semangat ya Mbak:)
ReplyDeleteAlhamdulillah, turut bahagia Mbak. Di setiap kesulitan, ada kemudahan setelahnya :) Semoga lancar dan dimudahkan semua prosesnya ya Mbak. Ibu dan adek bayi sehat selalu.. :)
ReplyDeleteSalam kenal Kak. Kalau aku belum pernah kak trauma berlebihan tapi kalau tidak menerapkan self love pernah. Anyway self love mengingatkanku dengan program Semeleh IIDN setahun yang lalu.
ReplyDeleteSelamat ya Mbak ikut berbahagia. Sehat selalu untuk Mbak dan keluarga dan debay yang diperut😘
alhamdulillah selamat atas kehamilannya ya mbak, sehat-sehat hingga proses lahiran kelak, semoga dimudahkan nanti saat melahirkan
ReplyDeletei feel you mbak, sy pernah ada di posisi mbak, cemoohan dan cibiran kerap hinggap di telinga, alhamdulillah suami menguatkan juga sheingga sy tidak terlalu terpuruk
Urgent banget bagi tiap orang utk senantiasa punya self love.
ReplyDeletekarena ini dibutuhkan banget agar bisa survive d kehiupan yg keras ini
nurul bukanbocahbiasa(dot)com/
Aku juga baru menyadari konsep self love akhir-akhir ini saat aku banyak di rumah karena WFH. Jadi banyak koreksi diri dan memikirkan apa yang akan terjadi padaku dan aku lakukan jika aku berada pada kondisi terjelek?
ReplyDeleteKatakan " tidak " nilhooh emang ngga mudah ya kak. Soalnyaa kadang kita menghindari "benturan" juga dengan orang lain, makanya biar cepet iyain aja uhuhuhu. akhirnya malah nyakitin diri sendiri
ReplyDeleteMemaafkan itu tidak mudah tapi setidaknya kita sudah ada kemauan untuk berdamai dengan kondisi masa lalu. Saya sih alhamdulillah belum ada rasa trauma gitu. Tapi ya untuk setiap masalah ya selalu berusaha percaya takdir saja... Jika kembali kepada Nya dan melihat di luar masih banyak orang yang di bawah kita memprihatinkan nya, Insyaallah makin jadi bersyukur
ReplyDeleteKadang orang bertanya kapan hamil, kapan nikah, kapan punya anak lagi, kalau sudah punya anak nanti ditanya lagi, gak nambah laki/perempuan biar genap--sebagai pertanyaan basa-basi tanpa tahu efek psikologisnya. Saya sendiri belajar untuk mengeluarkan pernyataan dan pertanyaan yang baik tanpa harus melayangkan kalimat basa-basi semacam di atas. Apalagi kalau kita tahu kondisinya.
ReplyDeleteMasyaAllah barakAllah kehamilannya ya kak, semoga lancar sampai lahiran. Btw bener banget mba, di zaman sekarang, nikah lama trus belum dikaruniai anak lebih aib daripada yang hamil di luar nikah. Di salah satu aplikasi kekinian malah banyak loh bocil2 yang bangga hamil di luar nikah. Miris kak ya Allah.
ReplyDeleteGaung mental health memang lagi santer banget karena kondisi masyarakat memang demikian. Membersamai orang dg depresi gak mudah. Saya merasakan sendiri
ReplyDeleteNggak abis-abisnyaaa pertanyaan soal hidup kita sendiri yang bahkan kita pun tidak mempertanyakannya tapi malah ditanyakan orang lain. Fiiiuuhh, tarik napaaas...
ReplyDeleteMemilih untuk menjauh dan mengatakan tidak memang sulit pada awalnya, tapi pastilah sehat ke depannya.
Kadang, tanpa disadari trauma itu memang pernah ada. DUlu, sewaktu saya dikhianati orang terdekat karena perselingkuhan, saya selalau berkata "Saya bisa." "Saya baik-baik saja." Nyatanya, tanpa disadari pandangan dan perilaku mulai berubah.
ReplyDeleteBenar sih, Mbak. Penerimaan menjadi langkah pertama yang memang sulit. Tapi kalau sudah dijalani, insyaAllah semua akan lebih mudah.
Ma syaa Lalah selamat mbaak atas kehamilan anak kedua, cara selfloveku adalah mencoba menghempaskan omongan yang gak enak
ReplyDeleteYa Allah..inginnya semua yang menikah ya, memiliki keturunan yaa..
ReplyDeleteTapi dengan perkataan yang tidak ada empatinya, pasti jadi merasa insecure. Solusinya memang kudu banget memahami makna self love. Dan kembalikan semua pada Allah, sang pemilik kehidupan.
Ah iya, bertanya tentang kapan punya anak itu sensitif banget lho
ReplyDeletePenting juga punya self love, biar bisa tetap tenang menghadapi netizen yang maha kepo ya mbak
Sama mbak, saya pun mengalami pertanyaan kapan hamil? Kok lama nggak hamil? Saking geregetan harus senyum mulu pengen deng rasanya pindah planet
ReplyDelete