Tiba-tiba pandanganku terhenti pada salah satu foto besar yang terpajang di dinding ruang tamu. Foto itu adalah foto Eyang Sutanto bersama istri dan putrinya.
Bertemu Eyang Sutanto
Lantas,
Eyang Sutanto langsung menceritakan
kenangan manis yang ada di dalam foto itu, dengan sebuah tatapan nostalgia yang
dibalut senyuman kuyu. Aku yang melihat itu jadi ikut terbawa suasana dan hanya
bisa terdiam larat. Istrinya telah meninggal di saat putrinya berusia 14 tahun
karena kecelakaan. Kemudian putrinya menyusul di usia 18 tahun karena Leukimia.
Alhasil, aku tidak dapat membayangkan rasa kehilangan dalam diri Eyang Sutanto .
Setelah
melakukan tur rumah, Eyang Sutanto mengajakku makan malam bersama. Tanpa rasa
sungkan aku langsung menerima ajakannya, karena aku juga belum makan malam.
Arkian, dia mengantarku ke ruang makan yang dikelilingi oleh lilin kecil yang
menyala, serta beberapa foto dan lukisan yang dipajang di dinding, sehingga
memberi kesan klasik. Lalu Eyang Sutanto menyajikanku seporsi gudeg dengan nasi kuning.
Dia melakukan semua itu seorang diri, karena sudah tidak memiliki pembantu
rumah tangga; terutama setelah usaha kain sutranya bangkrut. Walaupun begitu,
makanan yang dihidangkannya tetap terlihat lezat dan mengeluarkan aroma yang
menggoda.
Lantas
aku melahap semua hidangan itu, sembari melempar beberapa pertanyaan kepadanya.
Salah satunya adalah kebenaran dari isu mengerikan - tentang dirinya - yang
berkembang di kalangan masyarakat. Namun, Eyang Sutanto menepis semua tuduhan tersebut dengan dingin,
serta mengutuk si pembuat isu sebagai orang bodoh dan pengangguran yang tidak
memiliki kesibukan untuk dijalaninya. Setelah mendengar jawaban itu, aku hanya
bisa mengangguk puas.
****
Malam Pertama di Rumah Eyang
Setelah
selesai makan malam dan membantu Eyang Sutanto membersihkan piring dan meja makan; lantas dia
mengantarku ke sebuah kamar tidur tamu yang terletak di lantai dua. Setibanya
di sana, aku mendapati kamar berukuran empat kali enam meter yang sudah
tersedia sebuah kasur, sebuah meja hias, dan sebuah lemari kayu. Eyang Sutanto hanya mengantarku sampai di depan kamar; lalu
meninggalkan pesan untuk tidak keluar rumah di malam hari, karena banyak
binatang liar yang berkeliaran dari dalam hutan. Kemudian dia memberiku sebuah
kunci kamar kuno yang besar dan terbuat dari logam hitam. Setelah itu dia pergi
dan menghilang di ujung lorong rumah yang gelap.
Arkian,
aku langsung menaruh semua barang-barangku di dalam lemari. Kalakian
membaringkan tubuhku di atas kasur; berharap untuk segera mengakhiri malam yang
melelahkan ini. Tetapi semua itu sirna, setelah aku mendapati empat foto potret
besar yang terpajang di dinding kamar dengan posisi mengelilingi kasur. Semua
foto potret itu berisi orang-orang yang memiliki rupa mengerikan; seperti mayat
dalam kondisi berantakan dan tidak utuh. Mereka semua melempar tatapan terkutuk
dengan mata yang pucat. Perihal yang membuatku gamang adalah foto itu terlihat
sangat hidup.
Aku
tidak pernah tahu bahwa Eyang Sutanto memiliki hobi mengoleksi foto potret
menyeramkan. Bahkan aku juga tidak menyangka bahwa dia juga memiliki humor yang
buruk, dengan menaruh semua foto tersebut di kamar tidur tamu. Alhasil, aku
berusaha untuk tidak menghiraukannya, sekaligus merencanakan untuk meminta izin
kepada Eyang Sutanto untuk memindahkan
semua foto itu di keesokan harinya. Lantas aku memaksa diriku yang tidak nyaman
untuk tertidur, sehingga malam kulalui dengan penuh pergulatan melawan
kengerian yang mengintimidasi.
Keesokan
harinya, setelah aku terbangun dari tidurku yang tidak nyenyak, aku mendapati
perihal yang mencengangkan dan mengerikan daripada apa yang telah kupikirkan
sebelumnya. Semua foto potret itu telah menghilang dan berubah menjadi jendela
kamar yang menghadap hutan. Walhasil, aku bergidik ngeri dan pikiranku mulai
dipenuhi oleh imajinasi liar yang buruk.
****
Apakah Semua Hanya Halusinasi?
Aku
terbangun dari tidurku dalam keadaan linglung dan gamang, setelah mendapati
semua foto potret yang berisi orang-orang menyeramkan telah berubah menjadi
jendela kamar yang menghadap hutan. Lantas, aku bergegas mencari Eyang Sutanto dan menemuinya di pekarangan belakang rumah.
Di sana dia sedang menatap sedu kuburan putrinya yang dihiasi oleh tumbuhan
bunga mawar dan beberapa tumbuhan karnivora, sehingga memberi pesan duka yang
puitis.
Lantas
aku menceritakan perihal tersebut kepadanya. Tetapi Eyang Sutanto hanya menatapku sambil tertawa geli dan
mengatakan bahwa dia tidak memiliki foto potret semacam itu di rumahnya.
Kemudian, dia juga menambahkan, bahwa - mungkin - aku sedang kelelahan sehingga
berhalusinasi buruk; ditambah lagi dengan letak rumah Eyang Sutanto yang berada di dalam hutan dan terkesan
menakutkan pada malam hari. Setelah mendengar penjelasan itu, pikiranku sedikit
puas; tapi tidak dengan hati kecilku yang masih bimbang, sehingga menciptakan
pergulatan batin yang melelahkan.
Hingga
malam kembali tiba; sewaktu aku hendak tertidur; aku mendapati perihal ganjil
dari jendela kamarku. Seperti ada yang bergerak; mengawasi; mengintimidasiku
dari luar jendela dan bersembunyi di balik kegelapan. Akan tetapi, aku
menganggapnya sebagai reaksi biologis pada tubuhku, karena aku sedang sendirian
di dalam kamar yang remang dan dikelilingi oleh jendela yang menghadap hutan
yang gelap. Dari reaksi biologis itulah yang menciptakan rasa takut dan cemas,
setiap kali aku menatap jendela kamar. Alhasil, aku berusaha untuk tidak
menghiraukannya dan berencana untuk menutup semua jendela kamar terkutuk itu
agar tidak terus mengganggu tidurku. Namun nahas, Eyang Sutanto tidak memiliki kain gorden atau penutup
jendela, sehingga membiarkannya terbuka lebar. Tampaknya aku harus mencari cara
untuk menutupi semua jendela itu dengan benda lain!
Di
tengah pertikaian akal dan upaya untuk tertidur; seketika aku mendapati -
secara samar - bayangan yang sedang berdiri di luar jendela kamar dan
mengawasiku dari dalam kegelapan. Aku tidak yakin dengan apa yang kulihat;
bayangan itu tidak sendirian, tapi berjumlah banyak dan memenuhi setiap jendela
kamar. Awalnya aku berpikir bahwa aku sedang berhalusinasi. Tetapi setelah
kuperhatikan dengan saksama, aku merasa itu sangat nyata. Selain itu, aku juga
merasa tidak asing dengan bayangan tersebut. Hingga pada akhirnya aku menyadari
perihal yang membuatku bergidik.
Mereka
adalah orang-orang yang ada di dalam foto potret yang kulihat semalam. Tetapi,
kali ini mereka berdiri lebih dekat dengan jendela kamar, sehingga aku dapat
melihat rupa mereka lebih jelas daripada sebelumnya. Mereka tampak seperti
mayat yang rusak dan masih terbungkus oleh kain kafan - seperti pocong - dalam
kondisi berantakan, serta berlumuran tanah dan darah kering. Matanya yang pucat
melempar tatapan horor, sembari menyeringai terkutuk yang mengganggu.
Aku
hanya bisa membalas tatapan mereka dengan kengerian yang sulit dijelaskan
dengan kata-kata. Seketika tubuhku membeku dan retinaku terbakar. Aku tidak
tahu sudah berapa lama aku telah menatap mereka, sehingga pandanganku mulai
terhisap ke dalam palung kegelapan dan menghilang di dalam kesunyian yang
dingin.
****
Hari kedua di Rumah Eyang
Keesokan
harinya, aku terbangun dalam keadaan lengar. Lantas aku memaksa tubuhku yang
masih lemas untuk memeriksa jendela kamar, karena aku merasa ada yang tidak
benar. Aku merasa yakin bahwa mereka terlalu nyata untuk disebut sebagai
halusinasi. Akan tetapi, aku masih ragu dengan mataku sendiri.
Setelah
aku melihat keluar jendela kamar, aku mendapati sebuah balkon dengan lebar
kurang lebih dua meter. Kemudian aku langsung membuka paksa jendela kamar
tersebut, dan menemukan banyak sekali jejak kaki berwarna merah - campuran dari
tanah dan darah - yang mengotori seluruh lantai balkon depan jendela kamarku.
Dari situlah aku menyadari perihal mengerikan yang tersembunyi di rumah Eyang Sutanto
; bahwa selama ini yang kulihat adalah nyata!
Bersambung
Post a Comment
Post a Comment