Setelah aku melihat keluar jendela kamar, aku mendapati sebuah balkon dengan lebar kurang lebih dua meter. Kemudian aku langsung membuka paksa jendela kamar tersebut, dan menemukan banyak sekali jejak kaki berwarna merah - campuran dari tanah dan darah - yang mengotori seluruh lantai balkon depan jendela kamarku. Dari situlah aku menyadari perihal mengerikan yang tersembunyi di rumah Eyang Sutanto ; bahwa selama ini yang kulihat adalah nyata!
Menelusuri Jejak
Lantas aku mencari tahu arah datang dan
perginya jejak tersebut. Namun, jejak itu sangat banyak dan memiliki bentuk
yang beragam; ada yang berjalan biasa; ada yang berjalan dengan menyeret kaki;
ada juga yang melompat; lalu membaur menjadi satu, sehingga membentuk sebuah
teka-teki yang membingungkan. Akan tetapi, itu sudah cukup membuatku merinding.
Selepas kucermati semua jejak kaki itu,
aku berhasil menemukan sebuah petunjuk yang menyeretku ke lantai bawah dan
keluar dari rumah untuk melihat balkon kamarku dari depan. Di sanalah aku mulai
mendapati kegilaan; dimana semua jejak itu datang dan pergi dari balkon kamarku
dengan cara memanjat dinding rumah, menggunakan bantuan dari tumbuhan merambat.
Meskipun jejak tersebut berhasil tersamarkan oleh warna dinding yang suram dan
tumbuhan merambat yang lebat, tapi masih dapat kutemukan dengan ketelitian yang
ekstra.
Namun, semua jejak itu menghilang saat
menyentuh tanah. Entah itu karena warna jejak yang serupa dengan tanah -
sehingga membaur menjadi satu - atau mungkin ada seseorang yang sengaja
menghilangkannya. Tetapi, entah bagaimana, aku merasa yakin bila ada seseorang
yang sengaja menghapus jejak-jejak tersebut. Seseorang yang mengetahui kejadian
ini, tapi dia memilih untuk bungkam! Siapa lagi jika bukan Eyang Sutanto ? Kini
aku mulai menaruh rasa curiga dengannya!
****
Malam Yang Mencekam
Ketika malam kembali tiba; aku
memutuskan untuk kembali ke kamar lebih awal dan memberi alasan kepada Eyang
Sutanto bahwa aku sedang tidak enak
badan. Setibanya di dalam kamar, aku membunuh waktu dengan bersembunyi di balik
selimut, sembari menaruh kedua mataku di jendela kamar. Aku ingin memastikan
arah datang dan perginya mereka, sekaligus berharap - bila aku memiliki
keberanian lebih - untuk mengikuti dan menemukan tempat persembunyian mereka.
Sebuah ide kuno dan klise, tapi itu satu-satunya ide yang terlintas di
pikiranku.
Jam ke jam telah berlalu; tanpa
kusadari bahwa waktu mulai mendekati tengah malam, sedangkan aku masih belum
menemukan tanda-tanda kehadiran mereka. Kini kedua mataku mulai bengkak dan
rasa kantuk mulai menggodaku. Hingga akhirnya aku tertidur untuk beberapa
waktu; kemudian kembali terbangun setelah mendengar suara bising mobil yang
sedang melaju ke arah rumah. Lantas aku bergegas keluar dari kasur dan
mendekati jendela kamar. Dari situlah aku mendapati sepasang cahaya lampu mobil
yang keluar dari dalam hutan yang gelap; melaju secara pelan mendekati rumah.
Secara samar aku mendapati bahwa itu adalah mobil Suzuki Carry Pick-Up tahun
1992, berwarna hitam yang penuh dengan noda lumpur di badannya.
Mobil itu terus melaju hingga ke
pekarangan belakang rumah dan berhenti disana. Meskipun jarak pandangku
terbatas dan samar, tapi aku masih dapat melihatnya dari bahu kanan jendela.
Aku mendapati Eyang Sutanto keluar dari
dalam mobil itu; lalu dia mengeluarkan sebuah mayat yang masih terbalut kain
kafan dan berlumuran tanah dari dalam bak mobil.
Aku tidak dapat mempercayai apa yang
kulihat! Apakah aku sedang bermimpi atau sudah gila? Lantas, aku langsung
mengambil ponselku dan mengabadikan adegan tersebut, untuk membuktikan bahwa
itu bukan mimpi. Aku mengambil sebanyak mungkin gambar; dari adegan Eyang
Sutanto yang sedang membopong mayat,
hingga menuju ke sebuah tempat yang terletak di pekarangan belakang rumah. Aku
tidak tahu pasti; karena itu berada di luar jangkauan pandangku dan terhalang
oleh dinding rumah. Walakin, kejadian itu sudah cukup membuatku menaruh syak
wasangka dan rasa takut kepadanya.
Sewaktu aku sedang sibuk mengambil
gambar; seketika aku mendengar suara langkah kaki dari arah luar bahu kiri
jendela kamar. Saat itu jugalah aku merasa ada yang sedang mengawasi
pergerakanku. Lantas, aku langsung menoleh ke arah bahu kiri jendela kamar;
tapi yang kulihat hanyalah kegelapan malam yang mengaburkan mata. Walakin, aku
masih dapat merasakan kehadiran sesuatu yang tidak kuketahui; bersembunyi di
balik kegelapan; di luar jangkauan cahaya remang kamarku.
Lantas aku langsung mengarahkan
ponselku ke arah depanku dan mengaktifkan cahaya flash. Kalakian aku langsung
menekan tombol foto, sehingga - secara bersamaan - cahaya flash keluar
menyinari objek yang ada di depanku dan menangkap sesosok pria dengan wajah
yang sangat rusak, sehingga menciptakan cacat menakutkan. Tubuhnya masih
terbalut kain kafan, dengan kondisi berantakan dan penuh kerusakan yang buruk.
Dia menatapku dengan tatapan dursila terkutuk; lalu melaju ke arahku dan
menerobos jendela kamar. Alhasil, jendela itu pecah dan hancur berantakan.
Tubuhku terhempas ke lantai dan menatap sosok itu yang sedang melangkah ke
arahku dengan dingin dan cepat; lalu mencekik leherku dengan tangan kanannya;
mengangkat tubuhku ke udara; menyiksa diriku yang hanya bisa meronta-ronta
sambil melempar perlawanan tidak berarti. Arkian, dengan kekuatannya yang tidak
manusiawi, dia melemparku ke arah dinding dan melenyapkan kesadaranku.
****
Tabir Perlahan Terbuka
Keesokan paginya, setelah aku berhasil
kembali ke alam sadarku, aku mendapati Eyang Sutanto yang sedang mengobati luka di sekujur
tubuhku. Lantas aku langsung melompat panik ke arahnya dan melempar pertanyaan
gemetar kepadanya.
"Eyang... kemarin... pria yang
kemarin... kemana dia pergi?" tanyaku meracau.
"Pria? Siapa?" tanya Eyang
Sutanto .
"Itu... dia... dia yang
menyeramkan..." balasku.
"Eyang tidak melihat siapa-siapa
di rumah ini."
"Tapi Eyang... dia kemarin
menyerangku..."
"Kemarin malam kamu tidur berjalan
dan terjatuh di tangga." ujar Eyang Sutanto dengan dingin, "Jadi tubuhmu banyak luka
memar. Untung Eyang tahu kejadian itu, jadi Eyang segera membawamu kembali ke
dalam kamar."
Aku tidak percaya dengan jawabannya.
Aku merasa Eyang Sutanto sedang
mengarang cerita konyol untuk menutupi kejadian yang sesungguhnya.
"Tidak mungkin! Aku... aku lihat
sendiri... dengan mata kepalaku!" ujarku sedikit emosi dan panik,
"Bahkan dia sempat merusak jendela kamar!"
"Merusak jendela? Yang mana?"
tanya Eyang Sutanto .
"Jendela itu..." balasku
terputus saat mendapati semua jendela kamar dalam keadaan baik-baik saja,
"Tidak... tidak mungkin! Ini pasti ada yang salah! Bahkan aku sempat
mengabadikannya!"
Lantas aku langsung mencari ponselku,
dan menemukannya di atas meja hias dalam keadaan rusak - seperti habis
dibanting dan diinjak secara kasar - sehingga tidak berfungsi.
"Apa yang telah terjadi dengan
ponselku?" tanyaku.
"Ponselmu terjatuh dari atas
kasur. Lalu terinjak oleh kakimu, sampai rusak." balas Eyang Sutanto .
"Tidak! Tidak mungkin separah
ini!" teriakku kepadanya.
Walakin, Eyang Sutanto hanya tersenyum kecil dan sedikit menahan
tawa liciknya. Melihat reaksi tersebut, aku menjadi geram dan mulai melempar
pertanyaan frontal seputar apa yang kulihat semalam kepadanya. Awalnya dia
masih bisa menjawab dengan dingin dan santai. Tetapi, setelah aku mengungkit
pandanganku yang menangkapnya sedang membawa sebuah mayat dari mobil pick-up
tuanya, dia menjadi murka. Lantas dia menampar wajahku sembari menggertak;
"Bocah sialan!" ujarnya
sambil menatapku dengan tajam, "Berani-beraninya kamu menuduhku! Kamu
pikir kamu itu siapa? Kalau kamu menaruh syak padaku... silakan pergi dari
rumah ini!"
Arkian, Eyang Sutanto langsung keluar dari kamar dan membanting
pintu. Dari gelagat itulah yang membuatku semakin yakin, bahwa dia sedang
menyembunyikan sesuatu yang mengerikan.
Eh jadi penasaran sama lanjutannya. Mbak suka nulia fiksi ya? Saya kok nulis fiksi gak tamat2 ya wkwk
ReplyDelete