Pertanyaan prasangkaku ke Eyang Sutanto telah merusak hubungan kami berdua, sehingga dia menghubungi Bagas - melalui telepon rumahnya - untuk segera datang menjemputku. Secara tidak langsung dia telah mengusirku. Tetapi aku tidak menyesalinya; karena aku sendiri sudah resah dengan apa yang telah kualami selama tiga malam di rumahnya yang penuh teror dari sosok yang menakutkan. Alhasil, aku segera Bogorkan semua barangku ke dalam tas, serta menunggu jemputan Bagas di ruang tamu.
Akan tetapi, setelah berjam-jam aku
menunggu, Bagas tidak kunjung datang. Eyang Sutanto hanya memberiku secangkir kopi hitam, lalu
pergi meninggalkanku seorang diri tanpa memberi sepatah kata-pun. Tampaknya dia
sedang menjaga jarak dariku. Walhasil, aku hanya bisa menyeruput kopi hitam
tersebut, sambil menanti jemputanku.
Setelah beberapa waktu berlalu, aku
mulai merasa kantuk dan tertidur di atas sofa; hingga kembali terbangun akibat
suara halilintar yang mengamuk di depan rumah. Lantas aku melihat jam tanganku
yang sudah menunjukkan waktu telah lewat dari tengah malam. Aku tidak menyangka
bahwa aku sudah tertidur sangat lama, tapi yang membuatku bingung adalah Bagas
masih belum datang. Kemudian aku bergegas meraih telepon rumah Eyang Sutanto - karena ponselku telah rusak dan tak
berfungsi - dan segera menghubungi Bagas. Namun nahas, telepon itu juga tidak
berfungsi. Awalnya aku berpikir telah terjadi masalah jaringan sinyal; tapi
setelah kuperiksa, ternyata kabel teleponnya telah diputus.
Rasa emosi dan kelesah membaur menjadi
satu di dalam batinku, sehingga aku mulai mencari Eyang Sutanto di seluruh penjuru rumah. Namun aku tidak
menemukannya. Awalnya aku berpikir dia sedang pergi keluar untuk sebuah
aktivitas mengerikan seperti malam sebelumnya; tapi itu terbantahkan oleh
penemuanku akan sebuah mobil Suzuki Carry Pick-Up tahun 1992 yang masih
terparkir di halaman belakang rumah. Eyang Sutanto tidak mungkin pergi tanpa mengendarai mobil
itu! Lebih-lebih aku melihat adanya tanda bahwa mobil itu habis digunakan; keadaan
mesin yang masih hangat dan banyak lumpur segar di beberapa bagian tubuh dan
roda mobil. Aku sangat bersyukur telah mendapatkan bukti sebelum terhapus oleh
hujan badai yang akan menerjang.
Sewaktu aku sibuk mengamati mobil
tersebut, seketika aku mendapati kuburan putri Eyang Sutanto yang telah dibongkar dan menyisakan sebuah
lubang kosong. Keadaan semakin buruk, saat di waktu yang bersamaan, aku juga
melihat serangkaian jejak kaki - terbuat dari tanah dan darah - yang melaju
masuk ke dalam rumah, melalui sebuah pintu di halaman belakang; bekas tempat
produksi kain sutra yang sekarang telah dipenuhi oleh perabot rumah bekas,
salah satunya adalah jendela kamarku yang telah dirusak. Walhasil, penemuan itu
telah mempertegas bahwa kejadian semalam adalah nyata.
****
Arkian, aku mengikuti arah jejak itu
pergi; hingga menghilang di bawah lemari buku besar yang terletak di lorong
perantara ruang tamu dan halaman belakang rumah, serta terletak di bawah tangga
menuju lantai dua. Tampaknya si pemilik jejak itu telah memasuki sebuah tempat
rahasia, melalui lemari buku tersebut. Walhasil, entah apa yang merasuki
diriku, aku langsung mencari cara untuk menyingkirkan lemari buku itu. Hingga
akhirnya aku melihat sebuah patung Jurumeya yang terletak di atas lemari buku.
Jurumeya sendiri adalah salah satu tokoh raksasa sebangsa setan - dalam dunia
pewayangan - yang sangat sakti dan tidak bisa mati; bertugas sebagai penjaga
pintu masuk kerajaan Batari Durga dan mengganggu siapa saja yang memasuki
tempat itu.
Entah apa yang mengendalikan pikiranku,
tubuhku bergerak dengan sendirinya saat aku menatap mata patung Jurumeya; lalu
tanganku langsung mendorong hidung bundarnya, sehingga menciptakan suara mesin
dan getaran pada lemari buku tersebut. Secara otomatis, lemari buku itu terbuka
dan memperlihatkan sebuah lorong dan anak tangga - menuju ruang bawah tanah -
yang dibentuk dari batu candi, sekaligus meniupkan udara dingin ke mukaku,
beserta bau kemenyan dan rempah-rempah yang menusuk hidung.
Aku sangat terperangah melihat lorong
itu. Rasa takut dan penasaran semakin bergejolak di dalam batinku, sehingga
membuat tubuhku mematung dalam beberapa menit. Seketika - secara samar - aku
mendengar suara Eyang Sutanto yang
sedang melantunkan sesuatu. Suaranya yang parau dan samar telah menggema di
sepanjang lorong; seolah suara itu sedang memanggilku. Lantas aku mulai
memasuki lorong yang gelap dan sempit; menuruni setiap anak tangga yang
memusingkan dan lembab. Hingga akhirnya aku tiba di suatu tempat yang mirip
dengan katakomba yang dibangun dengan batu candi yang suram; berbentuk seperti
tabung dengan dihiasi oleh pilar-pilar tidak suci dan sembilan ceruk yang
tertata secara berselang-selang beraturan di sekelilingnya; diterangi oleh
lentera lilin yang tertempel di setiap sudut dinding katakomba.
Di tengah-tengah katakomba itu, aku
mendapati Eyang Sutanto yang mengenakan
Jawi Jangkep hitam dengan celana kain sutra cokelat, sedang melafalkan sebuah
mantra dengan bahasa yang sulit kumengerti; semacam bahasa Sansekerta atau - mungkin
- bahasa asing yang belum kuketahui. Dia melafalkan mantra tersebut di depan
mayat putrinya yang masih terbungkus kain kafan; diletakan secara telentang di
atas batu yang berbentuk meja persembahan; dikelilingi empat kemenyan yang
terbakar.
Perihal yang mengerikan adalah Eyang Sutanto
dikelilingi oleh orang-orang yang
memiliki rupa menyeramkan; berdiri mematung seperti boneka horor; menyaksikan
ritual tersebut dari dalam ceruk. Secara kasar mereka terlihat seperti manusia
biasa, semi-manusia, dan bukan manusia sama sekali. Mereka semua sangat
heterogen. Walaupun begitu, aku masih dapat mengenali mereka sebagai penguntit
malam di jendela kamarku.
****
Tidak lama kemudian, Eyang Sutanto mengambil sebuah mangkuk berisi cairan merah
yang terdiri dari berbagai macam rempah-rempah, yang telah dicampur dengan
beberapa cairan kimia yang tidak kuketahui; lalu menuangkannya ke dalam mulut
putrinya. Arkian, Eyang Sutanto mulai
kembali berteriak - melafalkan mantra - dengan suara lantang yang bergetar. Kalakian
- secara ajaib - mayat putrinya mulai bergetar dan menggeliat; nafasnya
terbatuk-batuk; hingga akhirnya dia melompat sambil menjerit lengking.
Aku hanya bisa menyaksikan peristiwa
tersebut - dari mulut lorong pintu keluar - dengan penuh rasa ketidakpercayaan.
Akan tetapi, perihal yang membuatku lebih takjub adalah aku belum menjadi gila
saat melihat kejadian tersebut. Padahal, seharusnya aku sudah jatuh pingsan
atau berlari seperti orang kesetanan; tapi aku hanya bisa berdiri mematung
sambil menyaksikan peristiwa dahsyat itu.
"Putriku... putriku yang
tercinta!" ujar Eyang Sutanto sambil menahan tangis.
Lantas dia langsung memeluk mayat hidup
putrinya dengan penuh haru; bagaikan sebuah reuni keluarga yang emosional.
Sedangkan putrinya hanya terdiam dingin dan kaku saat menerima pelukan.
"Sekarang kita akan kembali
bersatu! Tidak ada yang bisa memisahkan kita... meskipun itu maut atau
Tuhan!" ujar Eyang Sutanto , "Kini ritual kita akan segera
berakhir!"
Bersambung
Post a Comment
Post a Comment